Memahami Hakikat Pendidikan Menurut Konsep Manusia

Kita selalu menemukan semua orang bicara soal pendidikan, bukan hanya orang yang berkompeten di bidangnya saja tetapi berbagai kalangan juga turut membicarakannya. Kira-kira kenapa ya, kawan-kawan? rupanya setiap manusia tidak akan pernah merasa puas dengan hasil pendidikan, dan itu yang kita rasakan saat ini. Kebijakan soal pendidikan terus di gulirkan akan tetapi tidak pernah memuaskan. Oleh karenanya, mari kita pahami lebih dulu esensi dari pendidikan.


Sebelum kita memulai untuk mempelajari esensi pendidikan, maka sudah barang tentu kita harus memahami objek dari pendidikan yaitu manusia. Menurut plato hakikat manusia adalah akal, ruh dan nafsunya, sementara menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam bahwa inti manusia adalah keimanannya, yaitu spiritualnya maka yang harus dibangun adalah jiwa spiritualnya.

Bicara soal hakikat pendidikan orang Yunani kuno rupanya sudah mengatahui hal ini sekitar 600 tahun sebelum masehi. Mereka mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha membantu manusia menjadi manusia. Dari pengertian tersebut kita mendapat kalimat yang penting yaitu "membantu" dan kalimat "manusia".


Menurut Ahmad Tafsir, bahwa manusia dikatakan berhasil menjadi seorang manusia apabila ia telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa menjadi manusia merupakan sesuatu hal yang tidak mudah. Itulah kenapa sejak zaman dahulu kala banyak manusia yang gagal menjadi manusia. Maka, tujuan pendidikan adalah me-manusia-kan manusia. Lantas, seperti apa manusia yang dimaksudkan dalam pendidikan ini, sehingga dapat di katakan sebagai manusia.

Pada dasarnya, kriteria atau ketentuan yang dapat menjadi dasar manusia telah menjadi manusia itu tergantung pada falsafah hidup masing-masing. Sementara orang Yunani Kuno sendiri telah menentukan tiga syarat untuk disebut menjadi manusia.
  1. Memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri,
  2. Cinta tanah air
  3. Berpengetahuan
Pada tahun 1995 Goleman telah meluncurkan buku dengan menyebutkan bahwa yang terpenting dalam kehidupan ini adalah mengendalikan diri. Mengendalikan diri yang ia sebut dengan emotional intelligence (EI) kemudian disingkat dengan EQ (emotional quotient) atau kita sering menyebutnya dengan kecerdesan emosi, menurutnya lebih penting daripada IQ (intellegence quotient).

Di era transformasi seperti ini, kita sering menemukan banyak contoh-contoh yang menyatakan betapa pentingnya memiliki kecerdasan emosional. Contoh saja, ketika kita dalam keadaan memiliki banyak uang dan sedang berada dalam puncak kesuksesan, sudah barang tentu ingin sekali melakukan banyak hal sesuai dengan keinginan kita membeli ini dan itu, berhura-hura dan sebagainya. Sementara disisi lain, orangtua kita senantiasa menasihati untuk mengendalikan diri kita sehingga tidak terjerumus ke dalam hal itu.

Contoh lainnya adalah seorang pengusaha sukses atau pejabat yang tergiur untuk melakukan aktivitas korupsi, padahal ia memiliki kecerdasan pengetahuan yang hebat di bandingkan yang lainnya tetapi, emosinya untuk tergoda oleh harta tidak dapat ia kendalikan. Ada pula, ketika kita kesal terhadap pasangan kita kemudian kita melakukan sebuah keputusan dengan memutuskan hubungan atau bercerai. Kemudian perasaan menyesal menghantui kita untuk selamanya. Maka, sabar adalah bentuk yang sangat nyata dalam mengukur tingkat kecerdasan emosional kita.

Ketika kita mampu bersabar dan mengendalikan emosional mampu kita lakukan maka dengan sendirinya akan tumbuh rasa cinta terhadap tanah air. Menurut orang Yunani cinta tanah air yang dimakasud adalah cinta terhadap tempat tinggal. Cinta terhadap tempat tinggal ini yang kemudian akan melahirkan ilmu kewarganegaraan. Cinta tempat tinggal artinya tidak merusak alam (seperti hutan, gunung dan lautan), tidak membuang sampah sembarangan, atau mengganggu keindahan tempat tinggal kita, serta menjaga kehidupan bertetangga. Hal ini merupakan wujud dari kehidupan yang baik.

Konsep cinta tempat tinggal juga tidak boleh diartikan sebagai cinta bangsa, bahayanya ia akan menjadi chauvinisme yaitu paham yang mengenai cinta tanah air dan bangsa secara berlebihan sehingga menimbulkan fanatisme terhadap bangsa tertentu secara tidak mendasar. Apalagi cinta tempat tinggal diartikan sebagai cinta dunia, sehingga konsep ini akan di nilai luas dan terlalu abstrak. Konsep cinta tempat tinggal adalah dimana ia tinggal maka, ia akan mencintai tempat itu meskipun di luar negeri sekalipun. Seperti pepatah berikut ini,

"Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung"
 
Pada dasarnya, pendidikan akan membuat manusia bertambah pengetahuannya oleh karena itu, manusia yang tujuan pendidikan harus memiliki pengetahuan yang tinggi. Maksudanya adalah bahwa manusia tersebut mau berpikir secara benar. Berpikir secara benar dengan menggunakan akalnya adalah esensi daripada manusia. Maka, apabila ada orang yang tidak berpikir benar maka ia tidak bisa dikatakan sebagai manusia. Contohnya adalah orang gila, atau orang-orang yang secara ekonomi mampu, tetapi masih saja melakukan korupsi dan itu sangat jelas, ia tidak sedang tidak mampu untuk berpikir benar. Sehingga, seorang koruptor termasuk orang gila yang tidak pernah menggunakan akalnya untuk berpikir benar. Untuk melatih diri kita agar dapat berpikir benar maka orang Yunani Kuno memberikan saran untuk berpikir cara filsafat atau berfilsafat. 

Demikianlah, tulisan ini saya sampaikan kepada kawan-kawan semua semoga dapat menambah referensi. Akan tetapi, tulisan ini masih belum selesai karena selanjutnya nanti kita akan membahas mengenai Hakikat Pendidikan dari Aspek Menolong.

Sumber :
- Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam
- Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam

Posting Komentar

0 Komentar