Iman, Islam dan Ihsan Bagi Penulis


  Tantangan dalam Literasi Digital

Postmodern atau zaman pasca modern seperti saat ini merupakan era di mana pertumbuhan ilmu pengetahuan dengan sumber daya manusia yang cerdas membuat kemjauan dalam kehidupan maju begitu pesat. Saat ini kita mengenal dengan teknologi yang tidak bandingnya bahkan belum pernah terpikirkan oleh orang sebelumnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi, tengah mengubah peradaban umat manusia dari zaman manual menuju digitalisasi, tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas bekerja juga dapat membuka akses informasi dengan cepat. 

Dengan adanya akses informasi yang cepat tersebut, tentu saja membuat manusia tidak memiliki alasan lagi untuk mengatakan dirinya “tidak cerdas” atau bahkan gagap teknologi. Teknologi sudah melampaui batasnya, informasi dari berbagai belahan dunia begitu sangat mudah didapat, lantas masihkah kita mengatakan ketinggalan informasi? Bisa saja, jika memang tidak pandai dalam menyaring informasi yang didapat

 Setiap kelahiran teknologi yang digadang-gadang sebagai pendiri peradaban baru, tentu tidak hadir tanpa membawa resiko. Sebut saja, kelahiran teknologi di industri jaringan dan informasi, kelahiran 4G, 5G, dan 6G merambah pada kemudahan akses informasi dengan kecepatan internet yang cukup tinggi. Dunia dalam genggaman, begitu kira-kira istilah yang dapat digunakan pada era saat ini. Dengan adanya jaringan internet yang cepat serta dilengkapi fasilitas media sosial, dan media hiburan lainnya, manusia saat ini lebih asyik di dunia maya dan mengesampingkan dunia realitas. Dunia offline beralih menjadi online atau pengalihan dunia ini kita sebut dengan era disrupsi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disrupsi merupakan sebuah hal yang tercabut dari akarnya. Yaitu, kebiasaan lama yang sering kita lakukan secara fundamental telah ditinggalkan. Adapun menurut Clayton M. Chirtensen dalam bukunya yang berjudul The Innovator Dilemma disrupsi adalah sebuah era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran yang secara fundamental yang mengubah semua sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara baru. Akibatnya pemain yang masih menggunakan cara dan sistem lama kalah bersaing.

Masa ini telah berjalan dengan ditandai revolusi industri 4.0 dimana dunia internet lebih digandrungi dari pada dunia realitas. Akibatnya, berbagai macam sektor kehidupan di dunia tidak dapat melepaskan diri dari internet. Mulai bisnis, agama, pendidikan, politik, hingga sosial kultural. Jika terlepas dari bagian-bagian ini maka, bersiap-siaplah dikatakan primitif dan anti terhadap kemajuan teknologi. Apalagi dimasa pandemic seperti ini sudah seharusnya internet sudah seperti kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap harinya.

Dunia literasi juga tidak kalah tergerus oleh zaman-zaman yang jauh dari nilai-nilai. Akses informasi yang cepat dan melesat, membuat umat terancam akan kesadarannya dalam memahami informasi yang diperoleh. Manusia mungkin lebih tertarik media digital dari pada manual, lebih menyukai audio visual dari pada tulisan, bahkan lebih menyenangi hal-hal yang bersifat hiburan tanpa nilai daripada sebuah pertunjukan yang kaya pesan moral. Dunia literasi digital, menjadi tantangan tersendiri bagi para penulis di era disrupsi, pasalnya penulis harus mampu menghadapi para pembuat konten baik yang banyak menyampaikan pesan amoral, seperti para pembuat prank yang meresahkan, para pembuat konten dewasa, kriminal dan berbagai ideologi yang menyesatkan.

Penulis memegang peran penting dan bertanggung jawab atas kemajuan literasi digital yang beradab. Nilai-nilai moral dan agama harus senantiasa mewarnai jagat maya, sehingga orang yang membaca dan melihat konten yang dibuat oleh seorang penulis tersebut tercerahkan bahkan tulisannya dapat menginspirasi banyak orang dan dibagikan pula oleh orang lain. Sehingga, tulisan tersebut menjadi efek domino yang positif bagi para penikmat konten.

Korelasi Iman, Islam dan Ikhsan bagi Penulis Digital

Banyaknya topik dan konten yang senantiasa berseliweran diduna maya, membuat kita harus senantiasa bertarung sekuat tenaga dalam meningkatkan kualitas tulisan dan pesan yang terkandung di dalamnya. Maka, syarat utamanya adalah pemahaman penulis terhadap apa yang ditulisnya hendak menjadi bagian yang tidak terpisahkan antara dunia dan akhirat. Maka, tidak lain adalah penanaman nilai-nilai moral dan agama dalam setiap tulisan.

Islam sebagai agama yang agung dengan perannya sebagai ajaran, harus selalu mengiringi nafas perjuangan para penulis dalam setiap konten yang ia luncurkan di media internet. Hal tersebut bisa saja dalam bentuk tulisan, visual atau audio visual yang dapat diposting dalam media digital seperti blog, website, facebook, twitter, whatsapp, instagram dan flatform lainnya. Sehingga, ajaran Islam senantiasa menjadi bagian terpenting dalam apa yang akan ia bagikan kepada masyarakat.

Nafas perjuangan penulis yang dimaksud adalah kesadaran penulis akan tanggung jawabnya tentang apa yang ia tulis atau apa yang ia buat, semata-mata takut kepada Allah tentang apa yang telah dilakukannya di dalam dunia digital. Oleh karenanya, pemahaman kesadaran akan pentingnya nafas Islam sebagai perjuangan dalam setiap kontennya perlu ditingkatkan apalagi mencakup dengan keimanan dan keislaman.

Menghindari dunia digital justru merupakan sebuah kemunduran dan musykilan. Sebab dimana hal yang paling fundamental dalam kehidupan manusia sudah mengalihkan kepada dunia tersebut, atau yang kita sebut dengan disrupsi. Begitu juga dengan penanaman nilai-nilai keimanan dan keislaman tidak bisa tidak untuk tetap membumi di dunia manapun, termasuk dunia digital. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi penulis di era disrupsi seperti ini.

Keimanan merupakan sesuatu yang fundamental, mengakar dan radiks, sehingga iman dikatakan sebagai ruh dari apa yang dikerjakan dan dilakukan. Iman erat kaitannya dengan keyakinan dan kepercayaan serta kesadaran bahwa ada wujud yang lebih besar dari dirinya, dan eksistensinya lebih tinggi dari dirinya. Yaitu kesadaran akan keberadaan Tuhan, Malaikat, Kitab-kita, Rasul-rasul, hari Kiamat dan Qadha Qadar. Maka, ketika keimanan ini telah tumbuh dan mengakar secara fundamental pada diri penulis sudah menjadi sebuah kepastian penulis meyakini bahwa apa yang ia tulis tidak luput dari jangkauan Tuhan dan senantiasa memberikan nafas keimanan pada tulisannya.

Begitu pula dengan keislaman. Islam yang kita kenal sebagai agama, dengan keyakinan terhadap rukun iman yang telah disebutkan sebelumnya, juga turut dipraktikan dalam sebuah kegiatan wajib yang disebut dengan sembahyang (ibadah). Islam yang berarti tunduk, mengakui akan keagangun Allah sebagai Tuhan yang Esa, hendak diwujudkan pengakuan tersebut dalam bentuk ajaran/ritual. Sebut saja, rukun Islam yang terdiri dari Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa serta melaksanakan ibadah Haji ke Baitullah sebagai bentuk ukhuwah islamiyah bagi mereka yang mendapatkan tiket berhaji dari Tuhannya.

Keimanan dan Keislaman tersebut tidak akan menjadi sempurna apabila tidak dilaksanakan dengan kesungguh-sungguhan, ridho, dan ikhlas yang semata-mata hanya untuk Allah SWT. maka, perlulah seorang penulis menyempurnakannya dengan sebuah tekad bahwa ketika dirinya beribadah seolah-olah ia melihat Tuhannya, jikalau pun tidak melihat Tuhannya maka, ia telah diperhatikan oleh Tuhannya. Hal tersebut kita mengenalnya dengan rukun ikhsan.

Dari uraian tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa iman, islam dan ikhsan merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. KH. Syeikhudin sebagaimana yang dilansir dalam www.nu.or.id mengatakan bahwa ibarat bangunan rumah, iman sebagai fondamennya. Islam sebagai tembok dan bangunan lainnya. Sedangkan Ihsan adalah atap dan ornamen lainnya. Jadi ketiganya adalah satu kesatuan dan tidak bisa dipisahka.

Maka, korelasi antara iman, islam dan ikhsan bagi seorang penulis digital terletak pada kesadarannya, bahwa apa yang ia lakukan di dunia digital juga tidak terlepas dari pantauan Tuhan. Serta apa yang ia kerjakan tersebut merupakan bagian dari amal perbuatan yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya. Disisi yang lain, seorang penulis tidak boleh menghindari dan meninggalkan dunia digital tapi disisi yang lain penulis juga tidak boleh terjerumus dalam hal-hal negatif yang terdapat di dunia digital. Oleh karenanya, seorang penulis harus menantang dirinya menyebarkan kebaikan dan pencerahan kepada masyarakat melalui media digital sebagai bentuk membumikan budaya literasi digital.

Posting Komentar

0 Komentar