Pemilu 1987 : Implikasi Asas Tunggal Terhadap Perolehan Suara

Rezim orde baru senantiasa bertahan hingga 32 tahun dalam melanggengkan kekuasaannya. Kali ini sudah memasuki pada pemilihan umum ke empat pada era orde baru dan diperuntukan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kemudian, ada 400 kursi yang diperebutan pada Pemilu tahun 1987 ini.

 

Seperti pada pemilu sebelumnya, Pemilu tahun 1987 juga hanya diikuti oleh 2 partai dan 1 golongan karya, yaitu PPP, PDI dan Golkar. Pemilu tahun 1987 berhasil diselenggarakan pada tanggal 23 April 1987 dengan Golkar menjadi pemenang mutlak seperti pada pemilu tahun-tahun sebelumnya. Perolehannya pun cukup signifikan yaitu mencapai 73.11 persen dan berhak atas 299 kursi yang tersedia. Sementara PPP hanya memperoleh 15.96 persen dan hanya memperoleh atas 61 kursi dan PDI memperoleh suara sebanyak 10.93 persen dan berhak atas 40 kursi di DPR. 

Jika di perhatikan, suara Golkar pada Pemilu 1987 ini mengalami peningkatan yang signifikan dan hal tersebut menjadi salah satu komoditi Soeharto untuk tetap abadi pada kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Beda halnya dengan PPP yang mengalami kemerosotan suara partai secara signifikan, sementara PDI mengalami peningkatan dari pemilu tahun sebelumnya. 

Diduga bahwa kemerosotan perolehan suara yang diraih oleh PPP merupakan campur tangan pemerintah yang membuat peraturan dan berdampak pada perolehan suara partai. Beberapa diantaranya adalah larangan untuk pembentukan cabang di bawah tingkat provinsi, pengurangan terhadap masa kampanye yang semula 40 hari menjadi 25 hari, dan melarang adanya kritik terhadap kebijakan pemerintah. 

Tidak hanya itu, yang lebih memilukan adalah dengan diberlakukannya UU nomor 3/1985 yang mewajibkan seluruh partai politik dan organisasi harus berasaskan pancasila. Kemudian kebijakan ini populer dengan kebijakan asas tunggal. Pada prinsipnya, asas tunggal di buat untuk mengakhiri adanya perang ideologi. Sehingga, Rezim Soeharto dengan asas tunggalnya menjadi dasar untuk menumpas ideologi-ideologi lain yang tidak sesuai dengan Pancasila ala orde baru. 

Sebenarnya wacana asas tunggal ini pernah digaungkan pada tahun 1987 pada Sidang Umum MPR akan tetapi, mendapat penolakan keras dari PPP bahkan pada saat melakukan voting untuk memberlakukan GBHN yang memuat asas tunggal ini. Seluruh anggota DPR dari faksi PPP berbondong-bondong walk out.

Wacana pembentukan asas tunggal terus dilakukan. Puncaknya, setelah tragedi Lapangan Banteng pada Pemilu 1982 dimana, segerombolan orang yang menggunakan atribut PPP menyerang massa kampanye Golkar. Segerombolan masa tak dikenal itu, menyerang bahkan hampir mendekati panggung utama, beruntung kurang dari 20 meter dari panggung utama itu mereka dihadang oleh brimob dan akhirnya mereka membubarkan diri ketakutan. 

Pasca tragedi tersebut, akhirnya pada tanggal 19 Februari 1985 disahkanlah UU nomor 3/1985. Dengan diberlakukannya asas tersebut semua partai yang ada saat itu mau tidak mau harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal tidak ada yang lain. Begitu pula organisasi yang berhaluan Islam harus rela melepaskan asas keislamannya jika tidak, maka harus membubarkan diri. 

Pro kontra terhadap kebijakan tersebut membuat gejolak baru di Indonesia. Mereka para pembangkang harus di tangkap dan bagi organisasi yang tidak menerima Pancasila sebagai asas atau ideologi organisasi maka wajib di bubarkan.

Posting Komentar

0 Komentar