Akhirnya Bisa Liburan : Memoar Ujung Genteng (Episode 2)

Ada sebuah pertigaan yang menghubungkan jalan dengan lokasi berkumpulnya kawan-kawan yang hendak pergi pelesir. Angkot berlalu dia udah pergi entah kemana dengan perempuan itu, segera aku melanjutkan langkah sekitar seratus meter menuju lokasi berkumpul.

Ini adalah jalan alternatif yang terhubung dengan jalan Koramil, Cicurug hingga jalan Benda, Cicurug. Jalan ini biasanya sangat ramai karena sangat efektif untuk menghindari kemacetan yang biasa terjadi di sepanjang Jalan Siliwangi. Tentu saja, meskipun alternatif jalan ini sangat ramai lalu lalang kendaraan bermotor.



Kakiku terus melangkah, hingga akhirnya seseorang yang kukenal melewati perjalananku. Ia berhenti dan menyapa. "Ayo ikut" katanya. Tanpa banyak acara berpikir lama-lama, segera aku mendekat dan mendaratkan pantatku diatas joknya.

Qurtubi dengan kuda besinya melaju melawan arah yang seharusnya. Jujur aku heran mau dibawa kemana aku ini, kukira dia benar-benar mau menjemput dan membawa ke lokasi berkumpul. Rupanya tidak. Aku tanya kenapa tidak ke lokasi ngumpul di rumah Mihaw?

"Mau nyari gunting bang." Katanya "Tukang gunting dimana ya Bang" sementara dia masih fokus mengendarai sepeda motornya, pikirku melayang barangkali mereka membutuhkan gunting.

"Mau beli gunting?" Kataku.

"Ngak bang. Mau gunting rambut." Katanya

"Kenapa tidak ke tukar cukur."

"Iya, itu. Ada dimana ya bang?"

Qurtubi. Anak yang satu itu emang selalu tampak polos, tapi baik hati. Sangat baik sekali, dan ngak pernah aku melihat dia marah. Sebenarnya sudah lama, tidak tahu kabarnya, mungkin sudah hampir satu semester tidak berjumpa. Di Kampus pun jarang ketemu. Kini kita bertemu dengan diboncengnya, dan mendapatkan dirinya mau di gunting.

Aku menyarankannya untuk mencari di jalan raya Siliwangi. Setelah di depan gang pertigaan jalan alternatif, tukang ojek memberi tahu bahwa tidak begitu jauh dari pertigaan ini ke sebelah kanan. Artinya kami harus melawan arus. Aksi melawan arus lalu lintas pun berlanjut. Qurtubi berhenti setelah melihat tukang pangkas yang sedang mengobrol dengan seseorang.

Kami berdua turun dari kendaraan motor bebek milik Qurtubi. Ia bergegas duduk di tempat rambutnya akan di pangkas, sementara tas yang ia bawa sejak tadi di titipkan kepadaku. Aku hanya termangu melihat rambutnya yang akan segera berlalu dari kepalanya. 

Mudah bagi tukang pangkas itu memotong rambutnya. Model motongnya mungkin sudah sangat telatan sehingga tidak membutuhkan waktu berjam-jam agar dapat terlihat dengan tampilan rambut yang berbeda. Aku melihatnya seperti di mohak, tapi lebih tepat di cepak.

"Bang. Ada uang lima belas ribu?" Reflek aku mengeluarkan uang dari sakuku, dan menyerahkannya kepada Qurtubi. "Lupa bawa dompet. Ketinggalan di kobong (kamar pada pondok pesantren)." Ia tersenyum tersipu malu dihadapanku. Tidak apa-apa. Rupanya Qurtubi ini, pelupa juga aku pernah merasakan posisinya.

Setelah rambutnya terlihat cakep dengan model baru, aku kembali di bonceng menuju lokasi perkumpulan. Sepeda motornya melaju. Di depan, gang rumah Mihaw sudah terlihat. Qurtubi mengatakan kepadaku bahwa dia akan ke kobongnya dulu mengambil dompet yang ketinggalan. Aku menolak turun, karena aku sudah menduga jika turun sekarang pun akan menunggu, lebih baik aku ikut ke kobongnya Qurtubi sekaligus ingin tahu tempatnya belajar. Qurtubi tidak bisa menolak permintaanku, ia melaju seperti kuda liar yang lepas.

Melalui gawai Qurtubi, aku memberitahukan kepada Ula si inisiator kegiatan ini bahwa kami berdua akan datang terlambat. Tentu saja, ia memperbolehkan karena masih banyak pula orang-orang yang ditunggu untuk pemberangkatan.

Menembus angin dan mengejar waktu yang sebenarnya tidak perlu dikejar-kejar. Qurtubi melesat dengan kecepatan yang sebenarnya aku pernah di bonceng dengan kecepatan yang lebih dari ini. Di perjalanan aku membuka percakapan, agar Qurtubi tetap berhati-hati melajukan sepeda motornya.

"Kita ke Bogor?" Ucapku.

"Kita ke Ciseke Bang. Aku sudah lama, ngobong di Ciseke bareng Kang Ujeng. Sambil ngajar juga di Sekolahnya ustadz Azmi"

"Owh disana. Kalau tahu begini, sejak tadi pagi abang bisa ikut nebeng bareng kamu Bi. Rupanya kita searah." Ah iya juga. Kalo dari pagi nebeng karena arahnya sama mungkin aku bisa ngirit ongkos. Tapi, aku mungkin tidak akan bertemu perempuan itu di angkot. Pada kenyataannya aku sekarang tahu bahwa Qurtubi rupanya sudah lama di Cidahu.

Melesat, masuk kepelosok-pelosok memotong jalan. Sesekali kuda besinya tampak oleng namun dengan sigap Qurtubi mengendalikannya. Kali ini kita akan melewati jalan Desa Babakanpari, desa tempat tinggalku. Menyusuri jalan hingga sampai di pertigaan Cidahu Pasar belok kanan. Sepeda motor terus melesat mengikuti alur kompas pikiran Qurtubi aku hanya menikmati angin-angin yang menampar-nampar wajah.

Sudah sampai di Gastan masuk kesebuah gang kecil. Awalnya menanjak sedikit setelahnya adalah turunan curam. Lebih curam daripada jalan ke kampungku dulu sebelum ada jembatan. Beberapa orangtua di kampung sana mungkin telah mengadakan acara kerja bakti terlihat dari turunan curam yang sepertinya adalah jurang ini tengah dibersihkan. Turunan ini membentuk setengah lingkaran sehingga Qurtubi harus membelokan sepeda motornya 45 derajat.

Aku yang awalnya sempat khawatir karena baru menemukan jalan ini, harus mempercayakan diri kepada Qurtubi sepenuhnya. Meskipun di belokan lembah ini kami hampir saja bertabrakan dengan sepeda motor orang lain yang berpapasan. Tapi, beruntung nasib masih dikandung badan. Hingga akhirnya, kami sampai di pondok pesantren tempat Qurtubi mengaji dan mengajar anak-anak.

Sementara Qurtubi masuk ke dalam kobongnya. Seseorang keluar dari pintu rumah yang berdekatan dengan pondok pesantren.

"Kang Ule?" Aku menengok dan menyapanya. "Apa kabar?" tentu saja aku baik-baik saja. "Lama tidak ketemu, sombong ya sekarang?"

Lah. Apa salahku baru ketemu lagi kok di sebut sombong. Aduh basa basi macam apa ini. Perempuan yang ada dihadapanku ini adalah Didah teman seperjuanganku waktu dimasa-masa SMA dulu hanya saja kita tidak satu sekolah. Kita di pertemukan di Pramuka tepatnya di Dewan Kerja Ranting dan sering sekali melakukan kegiatan bersama untuk mewakili Kecamatan di tingkat Kabupaten. Setelah selesai sekolah aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Sehingga pada tahun 2016 akhir kita dipertemukan di tempat kerjaku dulu di salah satu pabrik rambut sintetis di Cicurug. Aku keluar dari pabrik itu pada tahun 2017 aku tidak lagi berjumpa dengannya. Paling ketemu lewat media sosial itu pun tidak intens.

"Eh. Bukannya kamu sama si Wahyudi." Kataku kepo hubungannya dengan salah satu teman sekelasku waktu SMP itu. Dan sekarang, orang itu entah dimana rimbanya.

"Aduh... aku udah ngak sama dia. Sekarang aku jomblo. Tolong cariin dong, cowok buatku."

Haahhh... cariin? nadanya bercanda, tapi kaya setengah serius. Apalah itu. Setidaknya aku tahu bahwa dirinya sudah tidak lagi punya hubungan dengan siapa-siapa. Entah ia jujur ataupun ngak.

"Kalau begitu pacaran aja denganku bagaimana?" cetusku. Aku sendiri heran kenapa kalimat itu tiba-tiba keluar dari mulutku.

"Enggak ah. Kang Ule mah pasti banyak ceweknya. Aku ngak mau." Katanya "Tapi minta nomor WA nya dong."

Kalimat itu sangat menyakitkan. Darimana dia tahu aku memiliki banyak cewek mungkin banyak kenalan cewek itu bisa aku betulkan. Tentu saja, semua ungkapan-ungkapan itu adalah timbul dari kawan lama yang sudah sekian lama tidak bertemu.

Karena handphoneku si adnan telah is death aku menuliskan nomorku di handphonenya. Gila jauh beda banget handphonenya dengan si adnan. "Jangan lupa P waku ya!" Pesan terakhirku pada pertemuan itu. Hingga akhirnya Qurtubi kembali dari kamarnya, dan melesat balik ke lokasi berkumpul untuk pemberangkatan.

Posting Komentar

0 Komentar