Siapa yang tidak kenal dengan Ayu Utami sastrawan jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia? Jika kawan ngaku suka dengan karya-karya sastra modern tentu saja mengenalnya. Ayu Utami penulis legendaris "Saman" telah memberikan perubahan baru di dunia sastra termasuk karyanya yang akan kita review saat ini yaitu Simple Miracles : Doa dan Arwah.
Apa yang kawan pikirkan soal hantu atau Tuhan? keduanya memiliki kesamaan yaitu tidak bisa dilihat dengan mata kepala sendiri tetapi di yakini dengan keimanan. Iman kepada hal yang gaib bergitu kira-kira? Namun apa jadinya, apabila kita hanya mempercayai Tuhan dan skeptis akan keberadaan hantu? Apakah hal tersebut sama saja kita telah menjadi atheis?
Buku Simple Miracles disebutnya sebagai spiritualisme kritis yaitu penghargaan pada yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis. Buku ini merupakan kisah nyata penulis yang menceritakan sosok Ibundanya yang memiliki standar ganda terhadap hal-hal yang gaib. Ia percaya akan keberadaan Tuhan tetapi, meragukan akan kebaradaan hantu.
Pada dasarnya, buku ini terdiri dari tiga bab utama yaitu HANTU, TAHUN dan TUHAN. Menarik sekali bukan? Pada tiap babnya kita akan diajak berpikir soal makhluk supranatural atau makhluk yang kita sebut tidak kasat mata. Apakah mereka benar-benar ada atau itu hanya halusinasi semata?
HANTU
Pada bab ini di mulai dengan kejujuran sosok "aku" terhadap rasa takutnya, yaitu dimana ia akan kehilangan orang-orang yang dicintainya yaitu "Ibu". Bagiku itu normatif, setiap anak tentu tidak ingin kehilangan seorang Ibu, apalagi dengan kedekatannya. Mungkin hal yang paling lucu yang pernah kita lakukan adalah bangun dalam lelap tidur, hanya ingin memastikan bahwa Ibu kita masih bernapas.
Ketakutan anak kecil selain itu adalah ketakutan bahwa dirinya masih tampak seperti anak kecil, atau ketahuan bahwa dirinya masih ketergantungan dengan perlengkapan bayi. Seperti empeng dan dot misalnya. Bahkan masih mengintil pada Ibunya.
Begitu pula ketakutannya pada hal-hal yang gaib, sebut saja hantu. Hantu merupakan sosok yang sangat menyeramkan bahkan cerita-cerita hantu dapat terbentuk di dalam otaknya. Bibi Gemuk adik daripada ayah ia adalah seorang yang suka sekali makan dan senang bercerita tentang hantu. Cerita-cerita hantu tersebut senantiasa ia berikan kepadanya dan kakaknya Agnes yang usianya tidak terpaut jauh darinya.
Beda halnya dengan Bibi Gemuk yang sangat tertarik dengan cerita hantu, bahkan ia sering kali mengarang ceritanya sendiri. Ibunya, sebagaimana di ceritakan sebelumnya sangat skeptis terhadap keberadaan hantu tersebut.
Cicilia adalah kakak sulungnya, diceritakan bahwa Cicilia juga senang sekali dengan cerita-cerita hantu dan sangat antusias akan hal itu. Hingga pada suatu hari ia menikah dan memiliki anak yang bernama Bonifacius, ia memiliki sebuah kelebihan yaitu dapat melihat A-Um (bahasa balitanya) maksudnya arwah atau hantu. Ketika ia melihat hal tersebut pupil matanya bergeser ke dalam dan yang tampak adalah bola mata putihnya. Meyeramkan sekali bukan?
Pada bab, ini cukup pada pengenalan tokoh-tokoh keluarga dengan berbagai karakternya. Dan soal-soal hantu, atau arwah orang-orang yang telah meninggal, dan beberapa peristiwa yang erat kaitannya dengan mistis. "Aku" masih di ambang, disisi lain mempunyai keteratrikan terhadap cerita hantu, namun pengaruh pesan Ibunya soal hantu juga turut ada dalam dirinya. Sehingga, ia terus mencari kebenaran akan dunia spiritual seperti itu.
TAHUN
Pada bab ini, sangat menarik sekali karena nalar kritis terhadap spiritual mulai di jelaskan. "Aku" memulai babnya dengan masa-masa dimana atheisme dan komunisme menjadi musuh negara. Bahkan, berbagai atribut yang berkenaan dengan hal-hal yang berbau komunisme wajib diberantas. Kritikannya, juga terlontar ketika penulis menyinggung soal pembredelan media, pada masa orde baru.
Zaman memang selalu berubah, begitu pula dengan keadaan spiritualisme "aku" juga memiliki masa-masanya. Ia membaginya dalam 3 (tiga) masa. Masa pertama, adalah dimana ia masih bersikap menjunjung tinggi agama (spiritualisme) sebagaimana kedua orangtuanya. Kemudian masa yang kedua, yaitu masa dimana ia tidak percaya akan keberadaan Tuhan atau keterlibatan Tuhan dalam kehidupannya, ia menyebutkan 20 tahun lamanya, hidup seperti itu. Kemudian Ketiga, yaitu masa ia mulai menghargai spiritualisme tanpa mengkhianati nalar kritis.
Hal tersebut ia analogikan kepada perkembangan barat yang dimulai dengan peradaban kekuasaan gereja hingga akhirnya melakukan revolusi dengan melepaskan diri dari agama (sekulerisme), hingga pada akhirnya berada pada puncak peradaban yaitu pasca sekulerisme. Agama menurutnya, sangat mengekang dan sok berkuasa terhadap diri seseorang.
Ada dua hal yang menjadi hambatan seseorang untuk berkembang yaitu agama dengan berbagai aturannya, dan cinta dengan berbagai dramatisasinya. Sebenarnya, ia lebih menekankan pada lembaga agama (gereja) yang selalu berkuasa. Sehingga ia menyebutkan bahwa dengan berkuasa akan so toy, dan dengan cinta akan lebay.
Alih-alih melakukan pembenaran terhadap apa yang menjadi pernyataannya. Akhirnya, ia kembali juga pada kekuatan iman. Setelah menyaksikan berbagai peristiwa di depan matanya. Tepatnya, ia mulai kembali menghargai spiritualisme tepat diusianya yang ke-40 tahun dan ayahandanya meninggal saat ia berusia 42 tahun.
TUHAN
Kembali pada standar ganda seorang Ibu, yang mempercayai Tuhan dan skeptis terhadap hantu. Menurut orang atheis apa bedanya Tuhan dengan hantu? keduanya sama-sama ghaib. Pada bab ini pula kekuatan doa menjadi harapan baginya.
Diceritakan pula bahwa Ibunya telah mengidap sakit keras, begitu pula dengan bibi gemuk, sementara bibi kurus telah mati sebelumnya ayahnya meninggal dunia. Bonifacius selalu, mengetahui bahwa arwah-arwah orang yang meninggal dunia menyaksikan jasad mereka dengan kesedihan. Begitu pula, ketika keluarga itu sedang melakukan pemakaman ayahnya, Bonifacius selalu berbisik kepada Ibunya Cicilia bahwa kakeknya, sedang ada menyaksikan jenazahnya di kuburkan dengan raut menyedihkan.
Di tengah kematian ayah keponakan-keponakan si "aku" yang masih anak-anak atau bisa dikatakan menginjak usia remaja itu sesumbar dengan pernyataannya yang membuat kita berpikir. "Kenapa orang mati harus di doakan?" katanya, "Bukankah itu takhayul?" Sebagai seorang yang memiliki daya spiritulitas mungkin akan menentang orang yang berkata demikian. Tapi, mereka masih anak-anak lantas apakah wajar berbicara demikian? Doa adalah keindahan dalam menyandarkan diri pada Tuhan. Pada masanya, mereka akan paham akan kekuatan doa.
Beda halnya dengan Bonifacius yang meramalkan Ibu akan meninggal dunia pada hari jum'at pukul delapan. Waktu itu, Ibu di rawat di rumah St. Carolus pada hari selasa artinya, ada waktu 3 (tiga) hari lagi. Antara percaya atau tidak, tetapi seketika membuat "Aku" merasa dekat dengan Tuhan. Kemudian turut juga memanjat doa Rosario sebagaimana Ibu sering melakukannya. Rasa takut dan cemas akan kehilangan Ibu pun menghantuinya, doa terus di panjatkan setelah mendapatkan kabar desus dari Cicilia yang mendapatkan bisikan dari Bonifacius.
Rupanya, Ibu tidak meninggal bahkan berangsur-angsur keadaannya membaik. Membaiknya, Ibu ia gunakan untuk melakukan Novela yaitu upacara misa setiap jumat di awal bulan. Tapi, kematian itu pada akhirnya menjemput pula di hari yang baik yaitu di awal bulan januari, pada hari jum'at tepat pukul delapan. Artinya, desusan Bonifacius soal kematian Ibu tidak salah, yang salah adalah si "Aku" yang menafsirkan perkataannya.
Pada buku ini, terdapat bab tambahan yaitu bab dimana Bibi Gemuk di ceritakan, bahwa ia meninggal dunia tujuh hari setelah 40 hari kematian Ibu. Di hari yang baik pula menurut agama Kristen Katolik.
Pada dasarnya, buku ini memberikan pandangan baru terhadap peran spiritualitas dalam kehidupan kita. Terlepas agama apa yang kita anut, atau Tuhan yang mana yang kita percaya. Melalui buku ini, kita tidak dipaksa untuk sepenuhnya percaya kepada hal-hal yang ghaib, karena bisa saja yang ghaib juga ada yang salah. Akan tetapi, ada nalar yang bisa gunakan sebagai bentuk penghargaan terhadap spiritualitas, meskipun hal tersebut tidak sepenuhnya dapat kita gunakan. Karena tentu saja, manusia adalah makhluk yang memiliki keterbatasan. Nalar adalah bagian dari manusia, maka nalar memiliki keterbatasan untuk menterjemahkan hal-hal yang bersifat imaterial.
0 Komentar
Terimakasih atas kunjungan anda. Silahkan tinggalkan komentar untuk catatan yang lebih baik lagi.